English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Minggu, 19 Mei 2013

RICH CULTURE VS RICE CULTURE




 

KEBUDAYAAN NASI

 

 

 

 

Sejak kapan manusia makan nasi? Di perkirakan sejak 9000 tahun lalu, padi mulai di kembangkan dari sebuah wilayah di India ke Yunan Cina. Jadi, ketika nenek moyang bangsa indonesia datang dari sana 3000 tahun yang lalu, berkarung karung gabah beras telah tersedia dalam perahu mereka.
Sekarang, berapa macam varietas padi di konsumsi manusia di berbagai penjuru dunia? Dalam ajang pameran padi di Taipei, akhir Maret 2005 tersedia 270 jenis padi lokal. Semua di tunjukan dalam keadaan mentah maupun sudah di masak. Ada beras ketan hitam, putih, hijau, merah. Ada juga beras merah , beras menir yang kecil kecil, maupun beras indica yang panjangnya sampai 1,7 cm.
Kebudayaan padi atau rice culture sesungguhnya bukan monopoli bangsa bangsa Asia. Amerika Serikat sejak masih koloni Inggris pada abad 17, sudah terkenal sebagai eksportir beras. Waktu itu, dari Carolina saja terkirim 300 ton beras ke Inggris dan puluhan ton lagi ke kepulauan Hindia Barat.
Sebaliknya, bangsa pemakan beras terbesar di dunia seperti kita, boleh di katakan kalang kabut menyiapkan periuk sendiri. Indonesia beruntung punya presiden yang doktor dalam ilmu pertanian. Namun apa artinya bila pasukan nasi masih belum mencukupi, padi dan beras masih belum di hormati. Buktinya? Pola tanam, sistim panen, dan pola penyimpanan padi kita masih banyak borosnya.
Variasi beras dan produk olahannya pun kian terbatas . Padahal mestinya  beras tidak hanya di konsumsi sebagai nasi, tetapi juga sebagai makanan ringan dan berbagai jenis minuman baik minuman keras maupun minuman ringan. Dalam hal ini kita bisa mencontoh  pengolahan nasi di Jepang. Mulai yang di kocok dengan telur, di bungkus dengan rumput laut (onogiri), di campur dengan daging (sembei), di jadikan kue beras (mochi), maupun minuman keras (sake).
Variasi olahan nasi dalam bentuk bola, piramid, kerucut, dan wajik lebih banyak berkembang di Jepang karena varietas padinya yaitu japonica dengan ciri butirnya lebih pendek, pulen, atau pekat. Bentuk ekstrimnya dalah ketan. Sedangkan beras lainnya adalah varietas yang ada di Indonesia adalah indica  lebih panjang dan ringan yang di sajikan dalam bentuk bubur, nasi bakar, nasi goreng, maupun rebusan 3/4  matang sehingga terasa masih agak keras.



KEKAYAAN TERPENDAM
Sebetulnya padi Indonesia beratus ratus bahkan beribu ribu jenis . Terlepas dari hasil silangan seperti IR 64, mamberamo, IR 66, ada bermacam jenis beras andalan seperti rojolele, beras solok, cianjur, delangu dan bali wangi. Dari varietas dan cara tanamnya pun kita juga mengenal padi gogo, padi laut, dan padi hutan.
Di perkampungan Baduy dusun Kanekes anda pasti akan di suguhi nasi asli pedalaman , yang nikmat di makan tanpa lauk sama sekali. Di rumah sastrawan Rendra kita bisa di manjakan dengan nasi beras merah. Maklum saja Ken Zuraida istri Rendra fanatik pada beras yang lebih bernutrisi bahkan bertekad untuk menanamnya di sekitar rumah.
Insan hebat lainya adalah Toeti Heraty yang menanam padi di sekitar rumah bukan untuk di panen tapi untuk mengundang dan memberi makan burung. Sedangkan Ibu Sri Redjeki Boediarjo menanam padi di rumahnya supaya anak cucu tahu bentuk beras sebelum menjadi nasi , dan punya pengalaman menanam, menjaga, dan memanennya.
Singkat kata, pejuang beras lokal terus bergerak dan bertahan walaupun dalam skala kecil kecilan. Sayangnya, Tradisi dan kekayaan lokal yang terpendam itu sulit di angkat ke permukaan. Pada masa Orde Baru, keberagaman padi dan beras nyaris tumpas habis. Gairah untuk mencapai swasembada pangan, mengutamakan penyeragaman jenis, intensifikasi, dan ekstensifikasi lahan dengan berbagai cara.
Hasil yang di dapat justru sebaliknya. Memang pernah tercapai swasembada pangan khususnya beras. Namun jenisnya bukan yang terbaik, apalagi ternikmat. Banyak beras unggul sekarang di impor dari Thailand, Vietnam, bahkan sekarang pun yang berkualitas rendah di datangkan dari segala penjuru.
Mengapa? Ternyata ada yang beranggapan memproduksi beras sendiri jauh lebih mahal di bandingkan dengan mengimpor. Perjuangan selama 35 tahun mencapai swasembada beras juga menuntut banyak pengorbanan. Berbagai jenis padi lokal punah, biaya saprotan (sarana produksi pertanian) membengkak luar biasa.Lebih dari itu semua, belum pernah terdengar orang menanam padi bisa jadi makmur dan kaya. Tentu saja ada sukses disana sini dengan produksi beras pandanwangi yang di perkirakan layak ekspor ke Brunei, Malaysia, dan Papua Nugini.Namun dengan hasil 57 juta ton per tahun dari sekitar 12 juta hektar sawah di Indonesia, jangan jangan untuk konsumsi sendiri pun belum mencukupi.
Artinya apa?. Kita semua perlu memberi perhatian istimewa untuk padi, beras, dan nasi. Kecintaan terhadap padi perlu di perdalam di semua lapisan masyarakat. Para pemimpin bangsa perlu lebih memperhatikan areal persawahan yang subur agar tidak habis di jadikan jalan tol, stadion, dan lapangan parkir.
WARA NO BUNKA
Jepang mulai mengenal nasi sejak 4000 tahun yang lalu. Sekarang , bentoo (nasi kemas, dalam kotak maupun bungkus) menjadi kegemaran di seantero kota besar, termasuk adanya puluhan gerai Hoka hoka Bentoo. Dengan olahan nasi , seperti chili con carne dari meksiko, setiap bangsa memang ikut memperkaya khasanah internasional. Misalnya, Indonesia menyumbangkan nasi goreng, Korea memberikan kupkap, Mandarin menghadiahkan chaofan, dan Spanyol membawa paella.
Berkat padi pula dunia mengenal kertas, seperti yang kita dapatkan kertas merang, yang telah mulai di perkenalkan di tiongkok 2000 tahun lalu. Dari jerami, berbagai kreasi masyarakat juga berkembang. Ada rumah dari jerami, topi, pakaian, tali jerami, dan alas kasur jerami tempat hewan, bagkan anak manusia di lahirkan. Penemuan modern seperti plastik pun, konon berdasarkan upaya untuk menciptakan jerami tiruan. Karena itu, kita kenal plastik sedotan yang di sebut juga straw, alis batang padi.
Belakangan ada kesadaran baru pada penting nya budaya jerami yang ada di Jepang di sebut wara no bunka. Setiap pergantian tahun, adat istiadatnya mengerjaan memulai hidup baru. Misalnya dengan mulai menyalakan api, masak nasi pertama kali, minum pertama kali, dan pergi ke sawah pertama kali (waza hajime), dan menanam jerami di salju.
Aksesori yang di tonjolkan dari adalah rumah rumahan jerami sagicho dan dondongnya. Di Indonesia dangau telah menjadi inspirasi perumahan mewah, tetapi di lapangan justru mulai di tinggalkan. Padahal jerami pernah menjadi bahan yang cukup vital untuk atap dan dinding rumah., sarana kemasan bahkan alat musik.Sekarang kita paham , mengapa beras menjadi begitu penting dalam ekonomi dan kehidupan sosial budaya berbagai bangsa di Asia. Memang sering ada saran agar pangan bukan hanya beras, tapi juga umbi umbian, sagu, jagung, kedelai, dan aneka ragam biji bijian. Namun hendaknya itu tidak kita lakukan karena gagal memenuhi kebutuhan nasi. Untuk sukses mengelola satu jenis padi saja perlu dedikasi dan kesungguhan. Apalagi jika harus memperhatikan keragaman jenisnya, pemeliharaan, teknologi, penyimpanan, distribusi dan cara memasaknya. Bukan hanya dengan rice cooker, misalnya, tapi bisa juga di buat ketupat, lontong, juadah dan aneka ragam nasi lainnya.
Sejarah menunjukan bangsa bangsa yang pandai menghormati padi, menanam, menyimpan, dan memasaknya dapat hidup lebih panjang, kreatif, inovatif, dan punya waktu untuk megembangkan ilmu pengetahuan, olahraga, kesenia. Cina, Jepang, AS, dan Canada telah membuktikanya. Bangsa bangsa Asia tenggara juga seyogyanya mampu membuktikan.
Namun untuk itu kita harus pandai menjaga kesuburan lahan, mencukupi pasokan air, dan mempertahankan harga beras sehingga menguntungkan bagi produsen dan konsumen. Bukan lagi dengan raskin tetapi juga dengan nilai yang setinggi tingginya, karena keragamanya, proses tanam organik, dan kesaktian padi yang telah membuat miliaran orang sehat, cerdas, dan kaya.

1 komentar :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

About Biology

Flag Counter